Selasa, 27 Desember 2011

Masalah Utama Jawa Barat

Senin, 26 Desember 2011 21:00 WIB
 
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - Badan Musyawarah (Bamus) Masyarakat Sunda mengkritisi pembangunan di Jawa Barat. Berbagai persoalan muncul satu tahun terakhir, mulai dari masalah ekonomi, hingga bencana alam. Namun Bamus menilai masalah utama yang dialami Jawa Barat adalah masalah pendidikan.

Pemerintahan daerah di Jawa Barat dinilai belum berpihak pada pembangunan yang berujung pada kesejahteraan masyarakat. Pembangunan pendidikannya belum tampak menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas.

Hal itu terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata pendidikan masyarakat di Jawa Barat hanya 6,8 tahun. "Hal ini berarti masyarakat Jawa Barat hanya lulusan sekolah dasar," tutur Kepala Bamus Jawa Barat, Memet Hamdan dalam refleksi akhir tahun di Gedung Magister Manajemen Universitas Padjadjaran, Senin (26/12).

Angka partisipasi sekolah di Jawa Barat hanya 47 persen di tingkat SMA dan 10 persen di perguruan tinggi. Padahal Jawa Barat diklaim memiliki pendidikan yang terbaik di Indonesia. Angka partisipasi yang rendah menyebabkan kualitas manusia di Jawa Barat pun rendah. "Tenaga kerja di Jawa Barat hanya menempati posisi operator," kata dia.

Pemerintah-pemerintah daerah di Jawa Barat membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pemodal asing yang ingin berinvestasi. Hal ini diasumsikan akan mampu menciptakan lapangan kerja baru.

Namun penciptaan lapangan kerja baru tanpa diikuti oleh tingkat pendidikan yang baik adalah hal yang sia-sia. Masyarakat Jawa Barat tetap tidak dapat terlibat dalam pembangunan industri tersebut, kata Memet.

Masuknya investor ke Jawa Barat tidak hanya menambah lapangan kerja, lanjutnya, tetapi juga mengikis lahan pertanian. Pembangunan di sektor industri membuat tenaga kerja di sektor pertanian berkurang. "Mereka lebih memilih bekerja di industri yang lebih menjanjikan kesejahteraan," tutur Memet.

Wali Kota Bandung, Dada Rosada, mengungkapkan musyawarah masyarakat Sunda menghasilkan poin peningkatan pendidikan. "Masyarakat Sunda, khususnya di Kota Bandung jangan mau tersisihkan oleh pendatang dalam hal pendidikan," kata dia.

Pendidikan yang baik merupakan salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sunda. Kalau masyarakat Sunda ingin maju, tegas Dada, maka pendidikan harus ditingkatkan.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/regional/jawa-barat/11/12/26/lwtdl7-ini-masalah-utama-jawa-barat

PENERAPAN AJARAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA


SISTEM EKONOMI ISLAM
Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme,Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. ”Kecelakaanlah bagi setiap … yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung” (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, ”jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu” (59:7).
Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.
Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State) yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada ”integrasi vertikal” antara aspirasi materi dan spiritual (Naqvi,h80)
Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturaan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
State intervention, directed primarily at reconciling the possible social conflict between man’s ethical and economic behaviors cannot lead the society onto “road to serfdom” but will guide it gently along the road to human freedom and dignity (Naqvi,1951.h81)

ETIKA BISNIS
Karena etika dijadikan pedoman dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, maka etika bisnis menurut ajaran Islam juga dapat digali langsung dari Al Qur’an dan Hadist Nabi. Misalnya karena adanya larangan riba, maka pemilik modal selalu terlibat langsung dan bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan miliknya, bahkan terhadap buruh yang dipekerjakannya. Perusahaan dalam sistem ekonomi Islam adalah perusahaan keluarga bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada Direktur atau manager yang digaji. Memang dalam sistem yang demikian tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia kapitalis Barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.
Etika Bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan, sedangkan antara pemilik perusahaan dan karyawan berkembang semangat kekeluargaan (brotherhood). Misalnya dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibanding rekan-rekannya yang muda.2)
2) Rodney Wilson, Economics, Ethics and Religion, Macmillan, 1997. h. 211

EKONOMI PANCASILA
Sistem Ekonomi Islam yang dijiwai ajaran-ajaran agama Islam memang dapat diamati berjalan dalam masyarakat-masyarakat kecil di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun dalam perekonomian yang sudah mengglobal dengan persaingan terbuka, bisnis Islam sering terpaksa menerapkan praktek-praktek bisnis yang non Islami. Misalnya, perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang memisahkan kepemilikan dan pengelolaan, dalam proses meningkatkan modal melalui pasar modal (Bursa Efek), sering terpaksa menerima asas-asas sistem kapitalisme yang tidak Islami.
Di Indonesia, meskipun Islam merupakan agama mayoritas, sistem ekonomi Islam secara penuh sulit diterapkan, tetapi Sistem Ekonomi Pancasila yang dapat mencakup warga non Islam kiranya dapat dikembangkan. Merujuk sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, Sistem Ekonomi Pancasila menekankan pada moral Pancasila yang menjunjung tinggi asas keadilan ekonomi dan keadilan sosial seperti halnya sistem ekonomi Islam. Tujuan Sistem Ekonomi Pancasila maupun sistem ekonomi Islam adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diwujudkan melalui dasar-dasar kemanusiaan dengan cara-cara yang nasionalistik dan demokratis.

Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_4.htm

Masalah Ekonomi, Siswa SD Gantung Diri

10 Desember 2011, 16:45:25| Laporan Noer Soetantini
suarasurabaya.net| Karena masalah ekonomi, seorang anak usia SD gantung diri. Pada Suara Surabaya, Sabtu (10/12/2011), AKP Gatot Kanitreskrim Polsek Sawahan mengatakan, Kristano Soa usia 13 tahun, kelas 6 SD, ditemukan kakaknya gantung diri di rumahnya di Simogunung 1-A No.13 Surabaya.

Pagi tadi, korban ditinggal ayah dan kakaknya ke gereja. Begitu pulang dari gereja, kakak korban menemukan Kristano sudah menggantung diri di tangga depan kamar mandi, menggunakan tali hasduk Pramuka, yang dikaitkan ke paku cor.

Karena panik, korban langsung diturunkan kakaknya dibantu tetangga. Tapi dalam perjalanan ke Poliklinik Banyuurip, Kristano meninggal.

Dari pengakuan kakak korban, Kristano orangnya penurut dan pendiam. Diduga dia melakukan ini karena memikirkan ekonomi keluarganya. Kakak korban yang jadi tulang punggung keluarga, sudah 1 bulan ini tidak bekerja.

Sementara ayahnya sakit sejak setahun terakhir. Dan ibunya, sudah meninggal sejak tahun 2006 lalu. (gk/tin)

Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/?id=dc748b04abc232913b4ab2a60f698d722011100848

Masalah di Pulau Padang selesaikan dengan damai

Senin, 26 Desember 2011 20:02 WIB | 1061 Views

Pekanbaru (ANTARA News) - Anggota DPR RI Wan Abu Bakar meminta masalah perbedaan pendapat terkait keberadaan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Pulau Padang, Riau, diselesaikan dengan damai dan masyarakat diminta tidak termakan provokasi pihak yang mengusung kepentingan tertentu.

"Sebagian besar masyarakat Pulau Padang menerima keberadaan perusahaan di daerah tersebut. Apalagi keberadaan RAPP berdampak positif bagi perekonomian negara dan masyarakat setempat," kata Anggota Komisi VII DPR RI Wan Abu Bakar, Senin.

Hal itu disampaikan Wan Abu Bakar setelah melakukan kunjungan bersama Forum Komunikasi Anggota DPR ke Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, pekan lalu.

Forum tersebut terdiri dari anggota dewan yang berasal dari daerah pemilihan di Riau, seperti Wan Abu Bakar, Adi Sukemi, Sutan Soekarnotomo dan Nuriah.

Menurut dia, kunjungan anggota DPR tersebut untuk mendengar langsung aspirasi masyarakat di Pulau Padang setelah ada aksi jahit mulut di pelataran depan gedung DPR RI di Jakarta.

Ia menilai, Pulau Padang memiliki sumber daya alam yang luar biasa sehingga menjadi rebutan banyak pihak. Sayangnya, tingkat kehidupan ekonomi warga dan pendidikan masih rendah sehingga mudah untuk dihasut oleh pihak-pihak tertentu.

Karena itu, tidak tertutup kemungkinan aksi nekad di Jakarta adalah salah satu bentuk provokasi.

"Masyarakat jangan terbagi dua dan jangan mudah diprovokasi karena kalau hanya mendengarkan hal-hal yang negatif, daerah tidak akan maju," kata Adi Sukemi, yang juga anggota Forum Komunikasi Anggota DPR.

Menurut dia, RAPP menyatakan sudah berniat menginvestasikan sekitar Rp70 miliar untuk membangun kebun rakyat yang diperuntukkan bagi warga Pulau Padang. Ia mengatakan perusahaan akan menyiapkan bibit, menanam hingga memanen kebun untuk warga setempat.

Hal senada juga diutarakan Sutan Soekarnotomo, bahwa ada pihak yang diduga "menunggangi" masyarakat Pulau Padang untuk menggelar demo jahit mulut di Jakarta. Menurut dia, oknum tersebut memanfaatkan momen yang sedang mencuat yakni konflik lahan di Mesuji, Provinsi Lampung.

"Kalau murni menyelesaikan masalah tentunya mereka akan kirim surat resmi ke DPR. Saya juga sudah meminta perwakilan para pendemo untuk berdialog dengan saya. Tapi mereka menolak," ujarnya.

Anggota DPR RI lainnya, Nuriyah, mengatakan perusahaan harus memperhatikan tuntutan masyarakat, di antaranya seperti pembangunan jalan desa. Namun demikian, masyarakat juga harus bisa membuktikan kepemilikan lahan dengan surat yang sah, bukan sembarangan klaim.

"Mohon maaf ya, sekarang ini sudah sering terjadi, banyak masyarakat pendatang yang baru beberapa hari mengaku punya tanah dan mengolah lahan negara. Itu tidak benar," kata Nuriyah.

Aksi jahit mulut warga Pulau Padang digelar sejak Senin, (19/12) lalu. Mereka menuntut pemerintah pusat mencabut izin HTI atas lahan seluas 41.205 hektare di pulau tersebut yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan No.327/2009.


Sumber: http://www.antaranews.com/berita/290346/masalah-di-pulau-padang-selesaikan-dengan-damai

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DAN OTONOMI DAERAH

Asumsi dan teori lama yang sudah menjadi mitos tentang lemahnya kapasitas usaha mikro dalam mengelola pinjaman, telah dipatahkan dengan keberhasilan performance Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di banyak negara berkembang (termasuk Indonesia). Keuangan mikro kini dianggap sebagai terobosan institusional untuk melayani pembiayaan masyarakat perdesaan maupun perkotaan para pengusaha mikro.
Keuangan mikro supaya terfokus, profesional dan efektif secara luas melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang betul-betul membutuhkan, Microcredit Summit mensyaratkan 4 prinsip utama yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan Lembaga Keuangan Mikro. Adapun prinsip-prinsip utama tersebut adalah :

1.       Reaching the poorest
The poorest yang dimaksud adalah masyarakat paling miskin, namun secara ekonomi mereka aktif (economically active). Secara internasional mereka dipahami merupakan separo bagian bawah dari garis kemiskinan nasional.

2.       Reaching and empowering women
Wanita merupakan korban yang paling menderita dalam kemiskinan, oleh sebab itu mereka harus menjadi fokus utama. Disamping itu, dari pengalaman lapangan di berbagai negara menunjukkan bahwa wanita merupakan peminjam, pemakai dan pengembali kredit yang baik.

3.       Building financially sustainable institution
Agar secara terus menerus dapat melayani masyarakat miskin, sehingga semakin banyak yang terlayani, maka secara financial kelembagaan tersebut harus terjamin berkelanjutan.

4.       Measurable impact
Dampak dari kehadiran kelembagaan dapat diukur sehingga evaluasi dapat dilakukan, hal ini dimaksudkan untuk perbaikan kinerja kelembagaan.  
Merefleksikan berbagai hal yang dikemukakan di muka, jelas bahwa lembaga keuangan mikro memerankan posisi yang penting. Era otonomi daerah merupakan peluang bagi pengembangan keuangan mikro, maupun dalam arti sebaliknya, otonomi daerah dapat memanfaatkan lembaga keuangan mikro untuk mengembangkan daerahnya.

Setidaknya terdapat beberapa hal yang diperankan LKM dalam otonomi daerah :

1.       Mendukung pemerataan pertumbuhan
Pelayanan keuangan mikro secara luas, secara efektif akan terlayani berbagai kelompok usaha mikro, maka perkembangan usaha mikro yang kemudian berubah menjadi usaha kecil, hal ini akan memfasilitasi pemerataan pertumbuhan.

2.       Mengatasi kesenjangan kota dan desa
Akibat jangkauan lembaga keuangan mikro yang luas, bisa meliputi desa dan kota, hal ini merupakan terobosan pembangunan. Harus diakui, pembangunan selama ini acap kali kurang adil pada masyarakat desa, sebab lebih condong mengembangkan kota. Salah satu indikatornya adalah dari derasnya arus urbanisasi dan pesatnya perkembangan keuangan mikro yang berkemampuan menjangkau desa, tentu saja akan mengurangi kesenjangan desa dan kota.

3.       Mengatasi kesenjangan usaha besar dan usaha kecil
Sektor yang selama ini mendapat akses dan kemudahan dalam mengembangkan diri adalah usaha besar, akibatnya timbul jurang yang lebar antara perkembangan usaha besar dan semakin tak terkejar oleh usaha kecil. Dengan dukungan pembiayaan usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kesenjangan yang terjadi. Disamping itu, dengan semakin cepatnya perkembangan usaha kecil akan ikut mendukung perkembangan usaha besar, serta sebaliknya.
4.       Mengurangi capital outflow dari desa-kota maupun daerah-pusat
Masyarakat desa mempunyai kemampuan menabung yang cukup tinggi, terbukti dari akumulasi tabungan yang mencapai 21,8 trilyun rupiah pada BRI Unit Desa. Meski demikian, kemampuan memanfaatkan kredit hanya 9,9 trilyun pada bulan Januari 2002 atau kurang dari setengahnya (sumber Bank Indonesia). Hal ini memperlihatkan bahwa askes faktor produksi dari masyarakat desa, telah diserap oleh masyarakat kota. Artinya akses pertumbuhan yang dibangun oleh masyarakat desa telah “disedot” oleh masyarakat kota, sehingga kota bisa menjadi lebih pesat sementara desa akan mengalami kemandekan. Sedangkan capital outflow dari daerah ke pusat diindikasikan kuat terjadi pula, hal ini dapat dilihat dari perkembangan kota-kota besar yang sedemikian pesat, semakin meninggalkan pertumbuhan daerah. Lembaga keuangan mikro, lebih berkemampuan memfasilitasi agar tabungan dari masyarakat desa atau daerah terkait, dapat memanfaatkan kembali tabungan yang telah mereka kumpulkan.

5.       Meningkatkan kemandirian daerah
Dengan adanya faktor-faktor produksi (capital, tanah, SDM) yang merupakan kekuatan dimiliki oleh daerah, dimanfaatkan dan didayagunakan sepenuhnya untuk memanfaatkan berbagai peluang yang ada, maka ketergantungan terhadap investasi dari luar daerah (maupun luar negeri) akan terkurangi, serta investasi ekonomi rakyat, dapat berkembang pesat. Kemandirian daerah tentu akan berdampak pada kemandirian nasional, sebab nasional terdiri dari daerah-daerah, sehingga dengan sendirinya ketergantungan terhadap utang luar negeri akan terkurangi.
Adanya pemerataan pertumbuhan, terjadinya keseimbangan pertumbuhan kota dan desa, berkurangnya kesenjangan usaha besar-usaha kecil, tentunya hal ini akan mengurangi kemungkinan ketidakstabilan daerah. Kecemburuan sosial dengan sendirinya akan terkurangi, sebab adanya kesejahteraan yang merata akan menimbulkan multiplier effect maupun interdependensi antar satu bagian dengan bagian yang lain.

Era otonomi daerah merupakan peluang untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan lembaga keuangan mikro. Melalui keuangan mikro kebangkitan ekonomi rakyat (sekaligus ekonomi nasional) maupun pengurangan kemiskinan, akan dilakukan oleh rakyat sendiri. Memang telah tiba saatnya, masyarakat menemukan jalannya sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka hadapi.

Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_13/artikel_1.htm

2012, Ekonomi Eropa Masih Jadi Masalah

Minggu, 25 Desember 2011, 12:18 WIB



VIVAnews - Eropa masih menjadi permasalahan dalam perekonomian global pada 2012 mendatang. Ke depan, negara-negara berkembang dan Amerika Serikat diharapkan menjadi tumpuan kestabilan sektor perekonomian.

Hal ini terungkap dari jajak pendapat Reuters dalam beberapa bulan terakhir yang dipublikasikan Minggu 25 Desember 2011.
Banyaknya negara-negara maju yang jatuh ke jurang resesi, pasar saham yang bermain aman hanya untuk menutupi kerugian mereka di 2011, harga minyak terjun bebas, serta ketidakyakinan para investor disinyalir akan terjadi di 2012.

"Alur cerita untuk 2012 adalah bahwa Eropa menyeret jatuh dunia pada awal semester, dan Cina membangkitkan kembali pada semester kedua," ujar Kepala Ekonom Standard Chartered, Gerard Lyons, Minggu 25 Desember 2011.

Namun, lanjutnya, masih ada harapan dari kejadian ini yakni membaiknya perekonomian Amerika dalam triwulan akhir tahun ini. Dan juga beberapa pengamat memperkirakan pertumbuhan Amerika pada 2012 bisa 2,2 persen.

"Ini lebih baik dibandingkan perkiraan ekonomi Eropa yang nol persen," tuturnya.

Terkait investasi, survei Reuters menunjukan bahwa para investor pada 2012 akan lebih memilih Inggris dan negara-negara di Asia sebagai tujuan dibanding Eropa. Pasalnya, indeks saham Asia akan menggungguli Eropa pada tahun mendatang.

Sedangkan dengan Eropa yang memasuki masa resesi, akan menyebabkan harga minyak merosot. Minyak mentah Brent rata-rata berada US$105 per barel tahun depan, tidak jauh berbeda dari rekor tertinggi tahun ini yang mendekati US$111.

"Namun demikian, kondisi geopolitik turut menjadi penyebab masalah harga minyak ini," kata konsultan JBC Energy, David Wech.

Ekonom HSBC Singapura, Leif Eskesen, memperkirakan China pada tahun mendatang justru tidak akan aktif dalam menggenjot perekonomiannya, kecuali pertumbuhan jatuh tajam hingga di bawah delapan persen. Pun, pada India yang akan mengendurkan kebijakan moneternya pada pertengahan 2012 nanti.

Sumber: http://bisnis.vivanews.com/news/read/274779-2012--eropa-masih-jadi-masalah-ekonomi

Nelayan keluhkan beredarnya ikan impor di Pekalongan


Pekalongan (ANTARA News) - Para nelayan Kota Pekalongan, Jawa Tengah, mengeluhkan beredarnya ikan impor di pasaran daerah setempat karena mengakibatkan pendapatan mereka turun.

Ketua Asosiasi Nelayan Purse Seine Indonesia Kota Pekalongan, Mufid, di Pekalongan, Selasa, mengatakan bahwa mebludaknya ikan impor di pasar Kota Pekalongan mengakibatkan pendapatan nelayan turun, selain juga menyebabkan pajak retribusi tempat pelelangan ikan (TPI) setempat merosot.

"Yang jelas, harga ikan impor tersebut dijual lebih murah jika dibanding dari hasil tangkapan ikan nelayan setempat. Tentunya dengan persaingan harga seperti itu mengakibatkan pendapatan nelayan dan TPI juga turun," katanya.

Menurut dia, ikan impor itu dijual pedagang dengan mengunakan mobil boks dan truk di sekitar lingkungan TPI Kota Pekalongan. Ikan impor yang dijual itu, katanya, layaknya jenis ikan layang dan tongkol kecil.

Ia mengatakan, pihaknya tidak mengetahui persis asal negara yang mengeskpor ikan tersebut karena barang lauk tersebut tidak ada lebelnya.

"Jenis ikan layang dan tongkol itu dijual pedagang seharga sekitar Rp5 ribu per kilogram atau lebih murah dibanding ikan lokal yang sama Rp7.000 per kilogram," katanya.

Dengan maraknya beredarnya ikan impor tersebut, ia mengemukakan, Asosiasi Nelayan Purse Seine Kota Pekalongan dan pemerintah kota setempat harus ikut mengawasi peredaran ikan tersebut.

"Kami menduga ikan olahan impor itu mengandung obat kimia sehingga dikhawatirkan akan menganggu kesehatan jiwa manusia, karena itu Pemkot Pekalongan harus ikut mengawasi peredaran ikan impor tersebut," katanya.

Kepala Bidang Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Kota Pekalongan, Setyo Susilo, mengatakan bahwa telah menerima informasi adanya peredaran ikan impor di Kota Pekalongan.

Selain ikan impor, katanya, sejumlah pasar tradisional Kota Pekalongan pada sepekan terakhir ini juga dibanjiri komoditas sayuran impor dari Thailand dan Hongkong yang dijual lebih murah dari harga sayuran lokal.

"Sayuran impor jenis wortel dan kentang, serta ikan impor pada sepekan terakhir memang membanjiri pasar tradisional. Padahal, izin peredaran sayuran impor hanya dijual di super market bukan dijual di pasar tradisional," katanya menambahkan. (*)

Sumber: http://www.antaranews.com/berita/290434/nelayan-keluhkan-beredarnya-ikan-impor-di-pekalongan

Impor Beras Bisa Setop Tahun Depan ??


Kamis, 22 Desember 2011 14:16 wib
JAKARTA - Pemerintah berjanji menyerap secara penuh beras petani pada musim panen tahun depan yang diperkirakan akan mulai pada pertengahan Januari 2012.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa menyampaikan, pada Januari musim panen telah dimulai. Dengan demikian, pemerintah juga akan memulai pembelian beras-beras petani.

"Tadi pak menteri pertanian (Suswono) mengatakan, pertengahan Januari sudah mulai panen di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan kita tentu saja kalau sudah begitu tidak lagi memerlukan impor. Kita menyerap beras-beras dari petani kita," ujar Hatta  di gudang Bulog defisi regional bidang DKI, Kelapa Gading, Jakarta, Kamis (22/12/2011).

Hatta menambahkan, sampai akhir tahun ini persediaan beras dipastikan akan cukup. Pasalnya, Badan Urusan Logistik (Bulog) sampai saat ini masih mempunyai cadangan beras sebesar 1,2 juta-1,3 juta ton beras impor. Jumlah tersebut masih bertambah, seiring dengan masih berjalannya kontrak impor beras khususnya dari Thailand yang masih dalam proses.

"Akhir tahun diperkirakan 1,7 juta ton di tangan Bulog di gudangnya sekira 1,2 juta-1,3 juta ton yang di jalan itu sekira 300-400 ribu, akhir tahun kita melebihi 1,5 juta ton, sekira 1,7 juta ton juta di musim paceklik seperti sekarang ini menandakan beras kita cukup, suplai cukup," tambahnya.

Di kesempatan yang sama, Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, sampai dengan akhir tahun ini diperkirakan beras impor asal Thailand diperkirakan akan masuk sebanyak 300 juta ton. Sehingga diperkirakan cadangan beras Bulogsampai dengan akhir tahun akan mencapai 1,5 juta-1,7 juta ton.

"Ya paling akhir Desember masuk 300 jutaan ton, jadi Januari akan masuk sekira 400 jutaan, pokoknya harus kelar paling lambat Februari," pungkasnya


Sumber: http://economy.okezone.com/read/2011/12/22/320/545881/impor-beras-bisa-setop-tahun-depan

Nilai Ekspor Indonesia Desember 2009 Naik 23,69 Persen, Nilai Impor Indonesia Desember 2009 Naik 17,15 Persen Dibandingkan Bulan Sebelumnya.2010-02-01


Nilai ekspor Indonesia Desember 2009 mencapai US$13,33 miliar atau mengalami peningkatan sebesar 23,69 persen dibanding ekspor November 2009. Sementara bila dibanding Desember 2008 mengalami peningkatan sebesar 49,82 persen.

Ekspor nonmigas Desember 2009 mencapai US$10,83 miliar, naik 28,30 persen dibanding November 2009, sedangkan dibanding ekspor Desember 2008 meningkat 44,55 persen.

Secara kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Desember 2009 mencapai US$116,49 miliar atau menurun 14,98 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, sementara ekspor nonmigas mencapai US$97,47 miliar atau menurun 9,66 persen.

Peningkatan ekspor nonmigas terbesar Desember 2009 terjadi pada lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$1.092,2 juta, sedangkan penurunan terbesar terjadi pada mesin/peralatan listrik sebesar US$46,8 juta.

Ekspor nonmigas ke Jepang Desember 2009 mencapai angka terbesar yaitu US$1,25 miliar, disusul Cina US$1,19 miliar dan Amerika Serikat US$1,04 miliar, dengan kontribusi ketiganya mencapai 32,16 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (27 negara) sebesar US$1,45 miliar.

Menurut sektor, ekspor hasil industri periode Januari-Desember 2009 turun sebesar 16,93 persen dibanding periode yang sama tahun 2008, demikian juga ekspor hasil pertanian turun 4,83 persen, sebaliknya ekspor hasil tambang dan lainnya naik sebesar 31,93 persen.

Nilai impor Indonesia Desember 2009 mencapai US$10,33 miliar atau meningkat 17,15 persen dibanding November 2009 yang besarnya US$8,81 miliar, sedangkan selama Januari-Desember 2009 nilai impor mencapai US$96,86 miliar atau turun 25,03 persen dibanding periode yang sama tahun 2008.

Impor nonmigas Desember 2009 mencapai US$8,22 miliar atau meningkat 17,75 persen dibanding impor November 2009, sedangkan selama Januari-Desember 2009 mencapai US$77,87 miliar atau turun 21,06 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Impor migas Desember 2009 mencapai US$2,10 miliar atau meningkat 14,88 persen dibanding impor November 2009, sedangkan selama Januari-Desember 2009 mencapai US$18,99 miliar atau turun 37,85 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Nilai impor nonmigas terbesar Desember 2009 masih sama seperti November 2009 yaitu golongan barang mesin/pesawat mekanik dengan nilai US$1,42 miliar, walaupun mengalami peningkatan sebesar 12,13 persen dibanding bulan sebelumnya.

Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-Desember 2009 masih ditempati oleh Cina dengan nilai US$13,50 miliar dengan pangsa 17,33 persen, diikuti Jepang US$9,82 miliar (12,61 persen) dan Singapura US$9,24 miliar (11,86 persen). Sementara impor nonmigas dari ASEAN mencapai 23,18 persen dan Uni Eropa sebesar 11,11 persen.

Impor menurut golongan penggunaan barang selama Januari-Desember 2009 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya mengalami penurunan untuk semua golongan, yaitu impor barang konsumsi sebesar 18,63 persen, bahan baku/penolong sebesar 29,99 persen, dan barang modal sebesar 4,47 persen. 

Sumber: http://www.bps.go.id/?news=747

Sistem Ekonomi Pancasila


oleh Emil Salim [Kompas, 30 Juni 1966]

  Di dalam usaha-usaha membina sistem eonomi yang khas bagi Indonesia, kiranya, sebaiknya kita berpegang pada pokok-pokok fikiran sebagaimana tercantum dalam Pancasila, khususnyadokumen "Lahirnya Pancasila" dan UUD 45, khususnya pasal-pasal 23, 27, 33 dan 34.Dari Pancasila adalah sila "Keadilan Sosial" yang paling relevan untuk ekonomi. Sila inimengandung dua makna, yakni sebagai prinsip pembagian pendapatan yang adil dan prinsipdemokrasi ekonomi.Ditempatkan dalam persepketif sejarah maka hasrat ingin mengejar pembagian pendapatan yangadil mudah difahami. Pembagian pendapatan di masa penjajahan adalah sangat tidak adil. Kurangdaripada 3% dari jumlah penduduk [yang terutama adalah bangsa asing] menerima lebih dari25% dari pendapatan nasional Indonesia. Karenanya, maka pola pembagian pendapatan serupa ini perlu dirombak secara drastis.Akan tetapi yang dikejar bukan saja "masyarakat yang adil dalam pembagian pendapatannya" tapi juga "masyarakat yang makmur". Ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan dari pendapatan nasionalharus juga meningkat.Di masa penjajahan, pertumbuhan eonomi berlangsung berdasarkan
free fight competitionliberalisme.
  Dalam pertarungan kompetisi ekonomi serupa ini, bangsa Indonesia tertinggal olehkarena tidak memiliki alat-alat produksi yang
Compatible.
   Maka sistem ekonomi liberal serupaini menambahkan ketidakadilan dalam pembagian pendapatan, karena yang ekonomi kuat,semakin kuat, sedangkan yang lemah ketinggalan.Guna menghindari pengalaman pahit serupa inilah, sila "Keadilan Sosial" menekankan perlunya:demokrasi ekonomi. Hakekatnya adalah suatu
medezeggenschap
di dalam unit ekonomi [pabrik, perusahaan, ekonomi negara dan lain-lain].Prinsip demokrasi ekonomi ini terjelma dalam UUD 45 pasal 23, 27, 33 dan 34. Di dalam pasal23 yang menonjol adalah hak budget DPR-GR. Ini berarti bahwa pemerintah boleh menginginkanrupa-rupa hal, rencana dan proyek, akan tetapi pada instansi terakhir adalah rakyat sendiri yangmemutuskan apakah rencana atau proyek bakal dilaksanakan, oleh karena hak-budget, halmenetapkan sumber penerimaan negara [pajak] dan macam-macam serta harga mata uang beradadi tangan DPR-GR.Inilah prinsip
medezeggenschap
atau demokrasi ekonomi dalam sistem ekonomi pancails kita.Dan untuk mencek kemudian apakah pemerintah tidak menyimpang dari kehendak DPR-GR,maka DPR-GR dapat menggunakan pemeriksaan melalui Badan Pemeriksaan Keuangan.Tentu semuanya ini di dalam iklim kehidupan kenegaraan di mana rechtszekerheid terjamin. Olehkarena itu, pasal 27 mewajibkan semua kita [baik penguasa tertinggi maupun warga negara biasa]menjunjung Hukum.Di dalam sistem ekonomi yang menjamin demokasi-ekonomi maka tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak [pasal 27]. Hak atas pekerjaan tidaklah melulu privilegesuatu kliek atau golongan tertentu. Semua berhak memperoleh
equal opportunity.
 Akan tetapi manakala ia jatuh terlantar menjadi fakir miskin, maka naluri kemanusiaan kita,sesuai jiwa Pancasila, menugaskan kepada negara untuk memelihara mereka yang terlantar itu[pasal 34].Prinsip demokrasi ekonomi juga menjelma dalam pasal 33 "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluaragaan". Di sini [dalam pengjelasan tentang UUD] menonjoltekanan pada "masyarakat": "Produksi dikerjakan di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-nggota masyarakat."Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. "Masyarakat"tidak sama dengan "negara". Sehingga jelaslah bahwa sistem ekonomi Pancasila tidak sajamenolak f 
ree fight liberalism
akan tetapi juga etatisme [ekonomi komando], di mana negara beserta aparatur ekonomi negara berdomisili penuh dan mematikan inisiatif masyarakat.Tetapi ini tidak berarti bahwa negara lalu berpangku-tangan. Pasal 33 juga menekankan bahwacabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Sedangkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dikuasainegara untuk digunakan bagi kemakmuran rakyat.Jadi negara menguasai sektor-sektor yang strategis. Maka dapatlah sistem ekonomi pancasila inidiumpamakan seperti lalu-lintas di Jakarta. Masing-masing anggota masyarakat bebas berjalan di jalan-jalan. Akan tetapi dalam kebebasan itu terkandung pertanggungjawaban untuk mengutamakan kepentingan umum.Kita tak bisa sesuka hati tancap gas dan membahayakan lalu-lintas. Karena itu maka peraturanlalu-lintas harus dipatuhi. Untuk mengatur kelancaran lalu lintas, polisi lalu lintas menguasaitempat-tempat strategis, seperti simpang empat, lima dan sebagainya. Polisi lalu lintas tidak menguasai semua jalan, paling-paling sewaktu ia mencek dan mengontrol. Jalan yang kita pijak,hawa yang kita hirup, sungguh pun kita jalani, adalah bukan milik individu, tetapi milik negara.Maka begitulah secara sederhana sistem ekonomi Pancasila. Ia tidak ketat seperti sistem ekonomietatisme ala Uni Sovyet, tidak pula liberal ala Amerika Serikat. Ia adalah kebebasan dengantanggungjawab, keteraturan tanpa mematikan inisiatif rakyat, mengejar masyarakat yang adil danmakmur atas landasan demokrasi ekonomi.

olehhttp://pejalanjauh.com/2009/04/26/rikalpa/ 

Pengertian Ekspor dan Impor Serta Kegiatannya

    Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor, sedangkan kegiatan membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor, kegiatan demikian itu akan menghasilkan devisa bagi negara. Devisa merupakan masuknya uang asing kenegara kita dapat digunakan untuk membayar pembelian atas impor dan jasa dari luar negeri.
Kegiatan impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Produk impor merupakan barang-barang yang tidak dapat dihasilkan atau negara yang sudah dapat dihasilkan,tetapi tidak dapat mencukupi kebutuhan rakyat.

A. Produk ekspor dan impor dari negara Indonesia
     Secara umum produk ekspor dan impor dapat dibedakan menjadi dua yaitu barang migas dan barang non migas. Barang migas atau minyak bumi dan gas adalah barang tambang yang berupa minyak bumi dan gas. Barang non migas adalah barang-barang yangukan berupa minyak bumi dan gas,seperti hasil perkebunan,pertanian,peternakan,perikanan dan hasil pertambangan yang bukan berupa minyak bumi dan gas.

1. Produk ekspor Indonesia
    Produk ekspor Indonesia meliputi hasil produk pertanian, hasil hutan, hasil perikanan, hasil pertambangan, hasil industri dan begitupun juga jasa.
a. Hasil Pertanian
Contoh karet, kopi kelapa sawit, cengkeh,teh,lada,kina,tembakau dan cokelat.
b. Hasil Hutan
Contoh kayu dan rotan. Ekspor  kayu atau rotan tidak boleh dalam bentuk kayu gelondongan atau bahan mentah, namun dalam bentuk barang setengah jadi maupun barang jadi, seperti mebel.
c. Hasil Perikanan
Hasil perikanan yang banyak di ekspor merupakan hasil dari laut. produk ekspor hasil perikanan, antara lain ikan tuna, cakalang, udang dan bandeng.
d. Hasil Pertambangan
Contoh barang tambang yang di ekspor timah, alumunium, batu bara tembaga dan emas.
e. Hasil Industri
Contoh semen, pupuk, tekstil, dan pakaian jadi.
f.  Jasa
Dalam bidang jasa, Indonesia mengirim tenaga kerja keluar negeri antara lain ke malaysia dan negara-negara timur tengah.

2. Produk Impor Indonesia
Indonesia mengimpor barang-barang konsumsi bahan baku dan bahan penolong serta bahan modal. Barang-barang konsumsi merupakan barang-barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,seperti makanan, minuman, susu, mentega, beras, dan daging. bahan baku dan bahan penolong merupakan barang- barang yang diperlukan untuk kegiatan industri baik sebagai bahan baku maupun bahan pendukung, seperti kertas, bahan-bahan kimia, obat-obatan dan kendaraan bermotor.
Barang Modal adalah barang yang digunakan untuk modal usaha seperti mesin, suku cadang, komputer, pesawat terbang, dan alat-alat berat. produk  impor indonesia yang berupa hasil pertanian, antara lain, beras, terigu, kacang kedelai dan buah-buahan. produk impor indonesia yang berupa hasil peternakan antara lain daging dan susu.
Produk impor Indonesia yang berupa hasil pertambangan antara lan adalah minyak bumi dan gas, produk impor Indonesia yang berupa barng industri antara lain adalah barang-barang elektronik, bahan kimia, kendaraan. dalam bidang jasa indonesia mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri.

B. Kegiatan pertukaran barang dan jasa antara Indonesia dan luar negeri
    Secara umum pertukaran barang dan jasa antara satu negara dengan negara lain dilakukan dalam bentuk kerjasama antar lain:
1. Kerjasama Bilateral
kerjasama bilateral adalah kerjasama yang dilakukan oleh kedua negara dalam pertukaran barangdan jasa.
2. Kerjasama regional
kerjasama regional adalah kerjasama yang dilakukan dua negara atau lebih yang berada dalam satu kawasan atau wilayah tertentu.
3. Kerjasama multilateral
kerjasama multilateral adalah kerjasama yang dilakukan oleh lebih dua negara yang dilakukan dari seluruh dunia.

C. Manfaat kegiatan ekspor dan impor
Berikut ini manfaat dari kegiatan ekspor dan impor
1. Dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.
2. Pendapatan negara akan bertambah karena adanya devisa.
3. Meningkatkan perekonomian rakyat.
4. Mendorong berkembangnya kegiatan industri

Sumber: http://syadiashare.com/pengertian-ekspor-dan-impor.html

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI INDONESIA

  1. Sampai kira-kira 28 tahun lalu (1975) kemiskinan bukanlah topik bahasan seminar dan surat-surat kabar. Baik masyarakat maupun pemerintah “tabu” membahasnya. Pembangunan dianggap akan menghapuskan kemiskinan “dengan sendirinya”. Dan pakar ekonomi dengan analisis-analisisnya berdiri paling depan dalam barisan para pakar yang manganggap bahwa pertumbuhan ekonomi cukup mampu mengatasi segala masalah sosial ekonomi bangsa.
Selama periode 1976-1996 (20 tahun, Repelita II-V) angka kemiskinan Indonesia turun drastis dari 40% menjadi 11% yang dianggap cukup menjadi pembenaran bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% par tahun dalam periode itu adalah faktor penentunya. Maka krismon 1997-98 yang kembali meningkatkan angka kemiskinan menjadi 24% tahun 1998 dengan mudah dijadikan alasan kuat lain bahwa memang pertumbuhan ekonomi “adalah segala-galanya”.
Kesimpulan saya, pakar ekonomi (teknokrat ekonomi) bukanlah pendukung kuat kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
Economic science has produced mostly “universal” intellectuals. I think it is time for economists to start transforming themselves __ and to do it fast __ into more “specific”, humble intellectuals (Alejandro Sanz de Santamaria in Ekins and Max-Neef, 1992:20).[1]
[1] Ekins, Paul & Manfred Max-Neef, 1992, Real-Life Economics, Routledge London – New York, p. 20
II.   Program Penanggulangan Kemiskinan bersasaran (targeted poverty alleviation) paling serius dalam sejarah bangsa Indonesia adalah program IDT di sepertiga desa di Indonesia, dan program Takesra/Kukesra di dua pertiga desa lainnya. Keduanya didasarkan atas Inpres 5/1993 dan Inpres 3/1996, yang pertama dengan anggaran dari APBN dan yang kedua dari APBN ditambah bantuan “konglomerat”. Program IDT maupun Takesra/Kukesra keduanya dilaksanakan melalui pendekatan kelompok sasaran antara 15-30 kepala keluarga dengan pemberian modal bergulir, yang pertama (IDT) sebagai hibah dan yang kedua sebagai pinjaman/kredit mikro.
Meskipun terkesan di masyarakat luas bahwa program IDT dan Takesra/Kukesra ini semuanya sudah “gagal total” karena tidak ada lagi dana segar yang disalurkan kepada penduduk miskin, dan sudah ada program-program penggantinya yaitu PPK (Program Pengembangan Kecamatan), tetapi penelitian kami sekaligus mengujicoba kuesioner dan Manual ESCAP di DIY membuktikan yang sebaliknya. Dana hibah program IDT di Karangawen, Gunungkidul, telah meningkatkan pendapatan penduduk miskin sebesar 97% selama 8 tahun (1994-2002). Meskipun dana IDT diberikan sebagai hibah pemerintah pusat kepada 123.000 pokmas di seluruh Indonesia, tetapi di Karangawen otomatis dijadikan model simpan pinjam yang kini telah berkembang 126%. Bukti dari lapangan ini menunjukkan bahwa rakyat / penduduk miskin tidak pernah memperlakukan dana IDT sebagai program belas kasihan (charity) tetapi benar-benar sebagai dana program pemberdayaan ekonomi rakyat yang mampu mengembangkan masyarakat desa yang mandiri dan percaya diri. Dalam kaitan ini saya sedih sekali dan sulit memahami arogansi pakar-pakar ekonomi dan sosial yang enggan pergi ke desa-desa dan selalu menolak hasil-hasil penelitian apapun yang menunjukkan rakyat/penduduk miskin bukan orang-orang bodoh, malas, sehingga hanya bisa maju dengan instruksi dari pemerintah atau orang-orang “pandai” dari luar. Dari kasus ini terbukti bahwa justru bukan rakyat/penduduk miskin yang bodoh/malas, tetapi para pakar ekonomi/sosial itulah sebenarnya yang malas/bodoh. Dalam pada itu aparat birokrasi yang berbicara lancar tentang segala program “taskin”, dalam kenyataan sering memperlihatkan kepedulian dan komitmen yang amat rendah terhadap kehidupan dan nasib penduduk miskin di daerahnya. Ada seorang bupati di Bengkulu yang tidak peduli pada anggota pokmas IDT yang telah ditipu pengusaha pemasok sapi setempat padahal 4 bulan sebelumnya sudah ada “laporan” masuk tentang hal itu di kantornya. Di Maluku seorang pejabat PMD kecamatan tidak berterima kasih tetapi malah mengeluh “tambah kerjaan” saat dikonfirmasi (1996) bahwa seluruh kota di propinsi, kabupaten/kota  di “IDT” kan. Faktor-faktor itulah yang secara keseluruhan mempersulit upaya penanggulangan kemiskinan bersasaran di Indonesia.
III.   Lokakarya kita 2 hari ini bagi sementara orang memang bertajuk kurang menarik, yaitu hanya membahas “aplikasi manual tentang penanggulangan kemiskinan bersasaran” (A Manual for Evaluating Targeted Poverty Alleviation Programmes), “lebih-lebih”  dengan bahasa Inggris. Namun karena telah ada putusan panitia penyelenggara bahwa pada hari kedua ini kita boleh penuh menggunakan bahasa Indonesia atau bagi saya bahasa Jawa di sana-sini, sebaiknya kita berusaha maksimal memanfaatkannya. Manual yang dimaksud dan kuisioner yang menyertainya telah saya terapkan (diujicobakan) di 5 kabupaten/kota di propinsi DIY mulai September 2002–Januari 2003 dan sebagian hasilnya saya laporkan dalam makalah  dengan bahasa Inggris yang “bopeng-bopeng”.
Tiga kritik utama saya terhadap manual ini adalah: Pertama, pendekatannya masih kurang cocok dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya riil Indonesia yang masih bersifat dualistik, yaitu masih adanya perbedaan besar antara sektor modern-industrial dan sektor tradisional perdesaan (ekonomi rakyat). Kedua, pendekatan terhadap responden/peserta program penanggulangan kemiskinan bersasaran (PKB) sangat individual/perorangan, padahal dalam kenyataan di semua program PKB peranan kelompok masyarakat (Pokmas) sangat besar. Ketiga, pada bidang usaha/kegiatan ekonomi diasumsikan adanya pemisahan yang jelas/tegas antara kegiatan ekonomi rumah tangga sehari-hari dengan usaha/bisnis termasuk dalam pembukuannya. Namun harus diakui bahwa manual ini benar-benar sangat bermanfaat dan menggugah kita di Indonesia yang selama ini belum pernah membuat upaya-upaya seperti ini, yaitu mengadakan evaluasi secara kuantitatif dampak program (sosial/ekonomi) PKB.
Memang kita sudah sering berbicara tentang MONEV (Monitoring and Evaluation) tetapi belum pernah mengukur secara kuantitatif dampak program-program ini pada tingkat rumah tangga (household), lebih-lebih pada tingkat pemanfaat langsung (beneficiary) dan juga pada tingkat Pokmas beranggotakan 15-30 orang. Jadi yang sering terjadi, meskipun kita sering megadakan MONEV di berbagai daerah kabupaten/kota atau propinsi, namun laporannya selalu bersifat non kuantitatif, yaitu, baik, sedang, kurang, dan sebagainya, dan tidak pernah dapat menunjukkan berapa persen pendapatan penduduk/penerima manfaat telah meningkat sebagai hasil dari program tertentu dan berapa persen penduduk miskin telah menjadi tidak miskin lagi per desa, per kabupaten, dan per propinsi. Satu dua propinsi seperti DIY dan Bali melaporkan berhasil melaksanakan program IDT, tetapi tidak ada laporan secara kuantitatif berapa ribu orang telah dibebaskan dari kemiskinannya selama 8-9 tahun program IDT, dan berapa persen kenaikan pendapatan mereka yang telah tidak miskin lagi.
Dampak negatif belum adanya evaluasi kuantitatif ini sangat jelas yaitu pemerintah tidak pernah  mampu untuk mempertajam program-progam PKB, yaitu di daerah-daerah mana saja program-program perlu dikendorkan karena masyarakat/ ekonomi rakyat sudah dapat mandiri/diberdayakan, dan di daerah mana saja program-program masih perlu ditingkatkan berdasar dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan program-program serupa di daerah yang telah berhasil seperti DIY dan Bali tersebut. “Studi banding” dalam arti sebenarnya jarang dilakukan pejabat, bahkan jika mereka bertemu dalam konperensi nasional/regional pun yang mereka tukar pendapatkan bukan upaya-upaya konkrit melaksanakan program-program yang baik tetapi sekedar omong-omong “kagum-mengagumi” praktek-praktek tertentu tanpa tindak lanjut perincian program-program yang dikagumi sebagai program-program yang berhasil.
Maka Manual ESCAP ini dengan penyempurnaan-penyempurnaan kita dan penyesuaian tertentu pada budaya nasional/regional kita di Indonesia dapat menjadi titik awal metode ilmiah evaluasi (dan monitoring) macam-macam PKB kita seperti yang kini kita laksanakan, yaitu PPK. PPK yang merupakan peningkatan program IDT dalam perhitungan kita baru dapat meningkatkan pendapatan sebessar 11% dibanding 97% pada program IDT (pada tingkat rumah tangga/household), meskipun pada tingkat pemanfaat (beneficiaries) sebesar 63,2%, lebih tinggi dibanding IDT yang 35,4%.
Akhirnya kami ucapkan terima kasih kepaa UN-ESCAP yang telah memberikan kepercayaan untuk mengujicobakan manual ini di Yogyakarta, tempat kedudukan kami. Seandainya lokakarya ini dapat dilaksanakan di Yogyakarta tentu dapat lebih menarik lagi bagi para peserta yang kemudian dapat mengadakan pembicaraan “tatap muka” langsung dengan orang-orang anggota pokmas yang telah naik tingkat dari miskin menjadi tidak miskin lagi. Mudah-mudahan pemerintah Indonesia dapat benar-benar tergugah untuk melaksanakan evaluasi-evaluasi kuantitatif seperti ini di semua daerah dan hasil-hasilnya ditindaklanjuti setiap tahun dalam bentuk penajaman program-program penanggulangan kemiskinan bersasaran. 

Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_14/artikel_4.htm

Menteri Perdagangan: Peluang Ekspor Indonesia Cukup Besar

Ekonomi - / Kamis, 8 Desember 2011 16:17 WIB
 
Metrotvnews.com, Palembang: Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan, peluang ekspor Indonesia ke berbagai negara cukup besar. "Peluang itu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata Gita dalam Forum Koordinasi Pembangunan dan Ekspor di Palembang, Kamis (8/12).

Gita Wirjawan optimistis ekspor Indonesia bisa mencapai target yang ditetapkan, sebesar 200 miliar dollar Amerika Serikat. Hingga Oktober 2011 ekspor telah mencapai 169 miliar dollar AS. Penguatan ekspor , kata Gita, didukung hasil nonminyak dan gas sebesar 134,7 miliar dollar AS, sisanya disumbang dari ekspor hasil migas. Tujuan ekspor antara lain Amerika Serikat, Jepang, China, dan negara lainnya.

Menteri Gita Wirjawan mengatakan, peluang ekspor meliputi karet, kelapa sawit, dan batu bara. Namun, Indonesia masih kalah bersaing dengan luar negeri di bidang sumber daya manusia dan infrastruktur. Jumlah lulusan sarjana Indonesia yang bergelar doktor atau S3 jauh lebih kecil dibandingkan negara lain. Padahal, SDM akan mendukung pelaksanaan ekspor sumber daya alam yang ada. Buruknya infrastruktur membuat barang yang diekspor banyak yang susut. (Ant/Wtr4)

Sumber: http://metrotvnews.com/read/news/2011/12/08/74724/Menteri-Perdagangan-Peluang-Ekspor-Indonesia-Cukup-Besar/2

Ekonomi Rakyat Di Mata Teknokrat

1. Sajogyo dan Widjojo Nitisastro

Pada tahun 1978 dalam sebuah artikel ilmiah populer di harian Kompas berjudul Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan, Sajogyo, yang sosiolog, ”mengambil oper” peranan pakar ekonomi dengan menetapkan garis kemiskinan pada tingkat pendapatan pertahun setara 240 kg nilai tukar beras / orang. Sajogyo menghitung ada 42,7 juta orang miskin (36,4%) di Indonesia (1970), yang 6 tahun kemudian (1976) turun persentasenya menjadi 33,4 %, meskipun dalam jumlah orang meningkat menjadi 45,1 juta. Peranan sebagai ekonom ini dilakukan Sajogyo sejak 1976 ketika mengeluh mengapa ekonom Indonesia tidak menanggapi hasil penelitian tentang kemiskinan di Sriharjo yang 3 tahun sebelumnya (1973) sudah dibahas dimana-mana di kalangan ilmuwan ekonomi pertanian internasional. Sajogyo kecewa ekonom Indonesia lebih banyak memikirkan masalah-masalah makroekonomi perdagangan dan keuangan internasional (konglomerasi dan globalisasi), dan tidak menyediakan waktu memikirkan ekonomi rakyat atau nasib penduduk miskin yang jumlahnya banyak dan senantiasa meningkat.
Pada tahun 1966, Widjojo Nitisastro, yang Dekan Fakultas Ekonomi, dengan dukungan rekan-rekannya dan mahasiswa FE-UI, mengumandangkan tekad melaksanakan pasal-pasal 23,27,33, dan 34 UUD 1945, dan bertekad mengamalkan Pancasila dan perbaikan ekonomi rakyat. Rumusan hasil kesimpulan seminar mahasiswa FE-UI selanjutnya menjadi landasan TAP No. XXIII/MPRS/1966.
Pada tahun 1933, Bung Hatta yang sarjana ekonomi tamatan Sekolah Tinggi Ekonomi di Nederland(1932), menulis kata pengantar dalam majalah Daulat Rakyat sebagai berikut :
Tani sendiri tidak berkuasa lagi atas padi yang ditanamnya. Padi masak orang lain yang punya. Produksi tinggal di tangan bangsa kita, tetapi distribusi atau pejualan sudah ditangan bangsa asing. Bertambah banyak perpecahan produksi, bertambah kuasa kaum pembeli dan penjual, semakin terikat ekonomi rakyat.
Demikian jika tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin ekonomi kita di masa lalu begitu bersemangat memihak kepetingan ekonomi rakyat dan berpikir atau bekerja keras mengangkat derajat orang kecil yang miskin, adalah aneh jika ekonom-ekonom muda masa kini begitu percaya dan menggantungkan diri pada konsep pertumbuhan ekonomi dan begitu mengagung-agungkan persaingan bebas yang dianggap hasilnya pasti akan ”menetes ke bawah”. Prinsip demokrasi ekonomi dan asas kekeluargaan, misalnya, yang dirumuskan Hata dan dibela oleh Widjojo dkk, sekarang dianggap tidak relevan lagi setelah globalisasi.

2. Selo Soemardjan
Selo Soemardjan yang menerima Anugrah Hamengkubuwono IX tanggal 19 Januari 2002 menyampaikan orasi ilmiah di Pagelaran Keraton Yogyakarta dengan Judul Pluralisme Budaya Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologis). Dari orasi dengan judul yang sangat netral dan sederhana terungkap keprihatinan mendalam tentang mulai pudarnya nasionalisme Indonesia, yaitu kesetiaan pada pluralisme budaya (kebhinekaan). Patriotisme dan nasionalisme seperti yang diikrarkan Pemuda-pemudi Indonesia tahun 1928 sekarang hampir hilang karena suku-suku bangsa di pelosok-pelosok seluruh Indonesia mulai pudar kepercayaannya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpusat di Jakarta.
Namun yang kini lebih memprihatinkan lagi bukanlah makin pudarnya rasa nasionalisme suku-suku bangsa kecil-kecil yang jauh dari Jakarta, tetapi makin pudarnya rasa nasionlisme para pakar yang menganggap paham globalisme lebih kuat atau lebih benar ketimbang ideologi nasional. Maka Pancasila dan UUD yang telah disepakati para pendiri Republik Indonesia tahun 1945 juga mulai dipertanyakan karena dianggap tidak lagi relevan atau ketinggalan zaman. Mencontoh negara-negara lain yang lebih maju dari Indonesia yang menganggap sistem ekonomi kapitalisme sebagai satu-satunya jalan ke kemajuan, maka ”tidak perlu lagi Indonesia “terikat” pada atas kekeluargaan atau kegotong-royongan yang terpancar dari Pancasila”.
Demikian dari uraian sosiologis Selo Soemardjan tentang pergolakan etnik di daerah-daerah yang sudah berlangsung 4 tahun terakhir, dan keluhan Sajogyo tentang tidak cekatannya pakar-pakar ekonomi menanggapi masalah kemiskinan dan ekonomi rakyat di Indonesia, pakar-pakar ekonomi perlu benar-benar mawas diri. Kami sendiri berpendapat ketidaktajaman cara berpikir pakar-pakar ekonomi, dan menurunnya rasa nasionalisme, disebabkan ilmu ekonomi telah kita jauhkan dari ilmu sosiologi. Ilmu ekonomi ala Samuelson yang semakin kuantitatif harus kita akui sebagai ”biangkeladi” dari kekeliruan ini. Dan yang paling fatal ilmu ekonomi Neoklasik Barat kini kita pelajari dan kita ajarkan sebagai agama (Robert Nelson, Economics as Religion, 2001)

3. Ekonomi Moral
Jika disadari bahwa buku Smith tahun 1759 berjudul The Theory of Moral Statements, padahal kita hanya mengajarkan ke pada mahasiswa kita buku ke duanya yaitu The Weath of Nations (1776), kiranya kita para dosen ilmu ekonomi harus mengaku ”berdosa” atau paling sedikit mengakui kekeliruan kita. Mengapa mahasiswa ekonomi hanya memahami manusia sebagai ”homo ekonomikus”, dan bukan sebagai ”homo moralis” atau ”homo socius” ? Itulah, karena ilmu ekonomi kita ajarkan sebagai ilmu yang super spesialistik, yang matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial menjadi hilang. Memang Kenneth Boulding telah berjasa mengingatkan bahwa ilmu ekonomi dapat dipelajari sebagai :
(1) ilmu ekologi;
(2) ilmu perilaku;
(3) ilmu politik;
(4) ilmu matematik;
(5) ilmu moral.
Tetapi berapa banyak di antara kita yang membahasnya atau menyinggung di ruang kuliah sebagai ilmu moral? Sangat sedikit, karena kita lebih suka menganggap ilmu ekonomi sebagai ilmu positif (positive science), dan cenderung mengejek ekonom lain yang mengajarkannya sebagai ilmu yang normatif (normative science). Terhadap konsep Ekonomi Pancasila yang pernah mencuat di wacana nasional, ada Ekonom Senior kita yang mengejek bahwa “tidak ada gunanya mengajarkan ilmu surga di dunia”
Karena tidak banyak manfaatnya lagi mengingatkan kritik-kritik radikal terhadap ilmu ekonomi seperti Paul Ormerod dalam The Death of Economics (1994), (karena buku seperti ini pasti sudah ”disingkirkan” sejak awal), maka buku klasik Kenneth Boulding diatas kiranya lebih tepat untuk dikutip.

Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_2.htm