Jumat, 04 November 2011

EKONOMI RAKYAT, PERBANKAN ETIK, DAN KRISIS MONETER 1997/1998

JIKA di media masa setiap hari diberitakan ”ekonomi Indonesia semakin terpuruk”, dan ”tidak ada tanda-tanda akan mengalami pemulihan pada tahun 2002”, maka data yang kami peroleh dari kantor daerah BRI Yogyakarta 1997-2001 menarik untuk disimak. Data penabung dan nilai tabungan masyarakat pada cabang BRI di seluruh DIY selama 5 tahun (1997-2001) menunjukkan kenaikan terus menerus, rata-rata 18,5 % dan 31,2 %.

PERANAN EKONOMI RAKYAT
Buku Mystery of Capital karangan ekonom Peru Hernando de Soto yang terbit tahun 2000, selama tahun 2000-2001 diulas secara luas di kalangan internasional tetapi rupanya tidak cukup mendapat perhatian di Indonesia. Buku ini menyingkap ”rahasia” kemiskinan di negara-negara berkembang, dan menerangkan mengapa (sistem ekonomi) kapitalisme yang memenangkan perang melawan sosialisme di dunia Barat, ”membangkrutkan” Soviet UNI tahun 1991, tidak berkembang atau akan selalu gagal berkembang di negara-negara miskin seperti Peru atau Indonesia.
Adapun alasan utama kapitalisme (akan) gagal di dunia ketiga adalah bahwa sistem ekonomi modern ini baru menyentuh sebagian kecil perekonomian, sedangkan sebagian besar yang merupakan sektor ekonomi (perekonomian) rakyat berjalan dengan, pola kerja dan mekanisme sendiri terlepas dari apa yang terjadi pada sebagian kecil sektor industri modern di kota-kota besar. Sektor ekonomi rakyat ini dalam literatur disebut sektor informal, ”underground economy”, atau ”extra legal economy”, yang tak pernah diperhitungkan peranannya. Bahkan jika pemerintah Indonesia kini menggunakan istilah ”UKM”(Usaha Kecil dan Menengah), sektor ekonomi rakyat yang sebagian besar tidak dapat dikategorikan sebagai ”usaha” tidak masuk dalam kelompok UKM.

PERBANKAN DAN EKONOMI RAKYAT
Jika dalam tabel 1 diperlihatkan hampir 30% penduduk propinsi DIY menjadi penabung di BRI dapat diduga bahwa sebagian besar keluarga di DIY sudah menggunakan jasa perbankan dalam kehidupan ekonominya, karena disamping BRI ada juga Bank BNI, BPD, dan sejumlah Bank Swasta yang beroperasi di Yogyakarta sampai di ibukota kabupaten.
Kondisi yang amat berbeda ditemukan di kabupaten Lamongan propinsi Jawa Timur, yang hanya 45 km dari Surabaya. Di desa Pucangro, kecamatan Kalitengah, 4 Kelompok Simpan Pinjam (KSP) dengan anggota 255 anggota (232 wanita) mampu menyerap atau kredit sebesar Rp 238 juta, dan tidak menggunakan jasa perbankan, karena saldo kasnya selalu dapat dibuat ”nol”. Krisis moneter 1997-1998 lebih memperkecil lagi peranan Bank sehingga perhitungan PDRB kabupaten Lamongan menunjukkkan sektor keuangan non-Bank menjadi 50 kali lebih besar nilainya dibanding sektor keuangan Bank, masing-masing pada tahun 2000 mencapai Rp 9,9 milyar dan Rp 201 juta, sedangkan sebelum krismon masing-masing Rp. 9,1 Milyar dan Rp. 729 juta untuk tahun 1997, dan Rp. 5,8 milyar serta Rp. 3,2 milyar pada tahun 1995 (harga konstan 1993). Demikian kiranya jelas bahwa jika di DIY, Bank berperanan sangat penting dalam ekonomi rakyat, di Lamongan sebaliknya, ekonomi rakyat ”menjauhi” jasa pelayanan perbankan. Data empirik dari lapangan ini perlu memperoleh perhatian besar dunia perbankan yang rupanya sedang menghadapi masalah besar karena krismon. Krismon yang telah ”menghancurkan” sektor perbankan, sehingga sebagian besar Bank Swasta dirawat di rumah sakit Bank (BPPN), memang mengharuskan dunia perbankan mengoreksi diri. Barangkali ada benarnya bahwa deregulasi atau liberalisasi perbankan tahun 1983 dan 1988 telah ”kebablasan” sehingga penciutan bank kembali ke tingkat sebelum 1988 memang harus dilakukan. Perbankan sebagai ”urat nadi” perekonomian (agent of development) sejak krismon telah berubah menjadi ”beban” perekonomian nasional. Sektor perbankan telah menjadi korban konglomerasi ekonomi yang terlalu menekankan pada pertumbuhan sektor bisnis modern yang sangat kapitalistik, sekaligus dengan mendesak peranan ekonomi rakyat. Sektor ekonomi rakyat sesungguhnya dapat dibantu perkembangannya oleh sektor perbankan. Tetapi dalam kondisi krismon yang melumpuhkan dunia perbankan, sektor ekonomi rakyat ternyata tidak ikut mati melainkan menjadi lebih percaya diri, dan melalui daya tahan yang kuat kini justru lebih tumbuh dan berkembang.

PERBANKAN ETIK
Ace Partadiredja dalam pidato pengukuhan Guru Besar di UGM tahun 1981 yang berjudul Ekonomika Etik mendambakan lahirnya ilmu ekonomi (ekonomika) yang tidak serakah dengan terlalu mementingkan alam benda. Artinya ajaran Adam Smith tentang manusia yang ”homo ekonomikus” (Wealth of Nations, 1776) perlu ”dikoreksi” dengan ajaran sebelumnya (Theory of Moral Sentiments, 1759) yang menekankan kecintaan manusia pada masyarakat tempat ia hidup. Itulah semangat ”tepa selira” yang cukup dikenal dan dihayati di Indonesia.
Salah satu pertimbangan etik yang penting dari perbankan di Indonesia mestinya diarahkan pada upaya mengurangi kemiskinan sebagaimana sudah cukup lama dikumandangkan Bank Dunia (sejak 1975). Meskipun dalam kenyataan slogan penanggulangan kemiskinan ini tidak mudah mewujudkannya, namun perbankan di Indonesia perlu sungguh-sungguh menerapkannya dalam upaya pengembangan perbankan etik.
Pengembangan Bank Syariah di Indonesia jelas bertujuan menerapkan perbankan etik yaitu tidak sekedar menjual jasa atau produk perbankan dengan mengenakan bunga, tetapi ”bekerjasama dengan klien” untuk memperbaiki kesejahteraan atau meningkatkan kehidupan ekonomi klien. Di Indonesia Bank-bank desa seperti BKK di Jawa Tengah atau Lumbung Piteh Nagari di Sumatera Barat, yang dibentuk dari bawah besama klien, adalah Bank-bank etik yang dimaksud. Namun sayangnya sejak liberalisasi perbankan 1983, 1988, dan 1992, Bank-bank yang demikian telah ”dimatikan” atau “dikerdilkan”. Pengalaman krisis perbankan 1997/1998 yang sampai kini belum teratasi telah memberikan pelajaran pahit, mudah-mudahan berharga, bagi dunia perbankan Indonesia. Pelajaran berharga itu adalah tidak lagi mengembangkan sistem perbankan kapitalistik yang mendahulukan kepentingan bisnis pemilik Bank, bukan kepetingan klien dan masyarakat luas.

David Cole yang bersama Betty Slate menulis buku ”Building A Modern Financial System: The Indonesia Experience" (1996, 1998) pernah berkata bahwa di Indonesia sejak liberalisasi perbankan memang tidak sekedar terlalu banyak Bank, tetapi ”terlalu banyak bank yang tidak dapat diawasi perkembangannya”. Meskipun mungkin artinya sama tetapi tidak dapat diawasinya perkembangan Bank secara baik jelas mengakibatkan otoritas moneter kehilangan wibawa mengawasi kondisi dan praktek kegiatan ekonomi keuangan secara keseluruhan. Jika ketelanjuran ini disadari kiranya tidak ada jalan lain pemerintah bersama Bank Indonesia yang kini sudah ”independen” harus mampu ”mengatur” kembali. Artinya suasana persaingan ”liberal” dengan pemihakan pemerintah pada kelompok-kelompok konglomerat tertentu harus di hentikan dan diganti pemihakan penuh pada ekonomi rakyat yang telah terbukti tahan banting. Perbankan harus menyadari kekeliruannya yang selama ini telah tidak menomorsatukan perkembangan ekonomi rakyat yang justru berakibat ditinggalkan oleh perlaku-pelaku ekonomi rakyat itu sendiri (kasus Lamongan). Memang perubahan misi dan orientasi ini tidak akan mudah, namun harus dilakukan.

Referensi: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_3.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar