Posisi para ahli ekonomi pembangunan untuk menempatkan prioritas pembangunan ekonomi di Indonesia berada diantara pilihan untuk pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Kedua hal ini merupakan topik yang selalu hangat diperdebatkan sampai saat ini. Mohamad Sadli (1973) mengemukakan pandangannya bahwa penciptaan lapangan kerja dapat dilakukan setelah terjadi akumulasi modal. Dalam hal ini, pemerintah Orde Baru pada awal tahun 1970an membuka pintu seluas-luasnya agar terjadi aliran modal masuk untuk membangun perekonomian Indonesia yang terpuruk. Yang tampak terlupakan adalah tidak ada jaminan bahwa sekedar aliran modal akan menyediakan lapangan kerja yang seluas-luasnya.
Dalam makalah yang disusun pada awal Perlita II tersebut, Subroto (1974) menunjukkan tentang luasnya permasalahan peningkatan kesejahteraan rakyat. Tiga macam kebijakan yang mempengaruhi hal ini adalah:
1. Kebijakan umum dalam bidang keuangan, yaitu perkreditan, sistim upah, perpajakan, bea masuk dan penetapan nilai tukar mata uang;
2. Kebijakan sektoral, seperti untuk sektor pertanian, industri, prasarana, konstruksi, perdagangan, dan sebagainya yang mendorong agar cara produksi dan pilihan produksi mcngutannakan peng-gunaan tenaga kerja, sehingga memperluas kemungkinan kesempatan kerja;
3. Kebijakan yang khusus untuk memperluas kesempatan kerja secara langsung maupun tidak langsung, serta meningkatkan kemungkinan mendapatkan kesempatan kerja bagi angkatan kerja melalui usaha-usaha mempertinggi ketrampilan, meningkatkan kemampuan berusaha dan kemahiran menata laksanakan.
Tulisan Subroto yang pada pada saat itu menjabat Menteri Tenaga Kerja, Koperasi dan Transmigrasi hanya memfokuskan kepada kebijakan yang bersifat khusus ini, yang sebagian terbesar akan dilaksanakan oleh Departemen yang dipimpinnya.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesetaraan gender sebagai salah satu target pembangunan saat itu, merupakan hal yang disoroti secara mendalam oleh Mayling Oey-Gardiner (1975). Berdasarkan Sensus Penduduk 1961 dan 1971, peningkatan kepandaian membaca dan menulis perempuan lebih tinggi dari peningkatan kepandaian membaca dan menulis laki-laki dalam kurun 1961-1971.
Demikian pula dalam hal pendidikan, walaupun jumlah pria terdidik lebih besar dari wanita, namun kemajuan yang dicapai kaum wanita lebih pesat dari pria.
Pada paruh pertama Orde Baru ini, pembahasan mengenai topik kemiskinan merupakan topik yang utama dalam pembangunan sosial-ekonomi. Perbedaan tentang berbagai definisi kemiskinan merupakan salah satu alasan mengapa terdapat perbedaan pandangan tentang permasalahan kemiskinan. Sajogjo (1977) mengemukakan strategi pembangunan bertumpu kepada masyarakat (bottom-up) untuk mengatasi kemiskinan. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang diterapkan dalam strategi pembangunan Orde Baru, yaitu cenderung bersifat top-down dan berorientasi kepada proyek. Sayangya mengemukakan usulannya agar partisipasi masyarakat menjadi menjadi syarat dan sekaligus sasaran dalam pembangunan. Dalam proses pembangunan ini menghendaki agar terjadi solidaritas bermasyarakat (sedesa, antar desa, antar-desa-kota) dan tujuan yang mengembangkan asas persamaan golongan, serta sekaligus mengembangkan kemampuan usahawan pribumi dan non-pribumi. Sehingga membangun manusia Indonesia seutuhnya atau membangun seluruh masyarakat Indonesia, sebagaimana tertera dalam rumusan GBHN yang berlaku saat itu, tidak sekedar menjadi slogan politik belaka.
Hananto Sigit (1980) melengkapi perdebatan konsep dan teknik pengukuran pemerataan. Terdapatan perdebatan bahwa sebagian ekonom berpendapat terdapat trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan (atau pemerataan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi); namun kelompok ekonom Iainnya berargumen bahwa trade-off tersebut tidak perlu terjadi jika pertumbuhan disertai strategi pemerataan pembangunan. Kocher (1973) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi justru dapat dipercepat karena adanya kenaikan effective demand, terutama terhadap barang produksi dalam negeri, sebagai akibat kenaikan pendapatan golongan bawah. Sehingga Hananto Sigit berargumen bahwa kedua pendapat tersebut tentunya dapat diterima, dan kebenarannya terletak pada apakah produksinya terikat oleh demand atau terikat oleh faktor produksi. Produksi yang terikat oleh demand tentu akan terangsang oleh kenaikan demand. Oleh karena itu is mengemukakan pentingnya untuk dapat memahami secara teknis berbagai konsep pengukuran kemiskinan dan pemerataan, yaitu antara lain KuznetS Index, Koefisien Gini dan Theil Decomposition Index.
Pembahasan tentang pembangunan sosial-ekonomi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari usaha keras pemerintah saat itu untuk mensukseskan program keluarga berencana karena program untuk menurunkan fertilitas ini merupakan satu-satunya langkah yang dalam praktek dapat diambil oleh pemerintah untuk mencegah pertambahan jumlah penduduk yang pesat. Masri Singarimbun dan Chris Manning (1974) dalam studinya membahas pola motivasi, kebiasaan dan lingkungan sosial yang mempengaruhi fertilitas di Mojolama, satu masyarakat pedesaan di DIY. Salah satu hasil studi ini mengemukakan bahwa perbaikan keadaan sosial ekonomi tidak harus mempengaruhi motivasi untuk melakukan keluarga berencana. Sehingga penulis menekankan bahwa peinbatasan kelahiran perlu bagi tiap lapisan sosial-ekonomi, tanpa menitik beratkan untuk mereka yang berada pada golongan ekonomi yang lemah.
Pustaka: Pemikiran dan permasalahan ekonomi di Indonesia dalam setengah, Volume 3 edited by Hadi Soesastro, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
sumber: http://artikelekonomi.com/pembangunan-sosial-ekonomi-negara.html
Terimakasih Infonya
BalasHapusartikel yang bagus,
sangat bermanfaat..
Perkenalkan saya mahasiswa Fakultas Ekonomidi UII Yogyakarta
:)
twitter : @profiluii :)